Rabu, 13 Februari 2013

Pendidikan Berkarakter Bangsa Indonesia


Dulu waktu masih jaman menimba ilmu di Madrasah Ibtidaiyah (MI)—setingkat SD—saya ingat sistem pendidikan Indonesia masih menggunakan catur wulan. Dimana dalam setiap tahun ajaran itu dibagi menjadi 3 sesi, catur wulan pertama, kedua, dan ketiga.

Di setiap akhir catur wulan tersebut diadakan evaluasi berupa ujian catur wulan yang nilai hasil evaluasi tersebut diakumulasikan hingga catur wulan yang terakhir, catur wulan ketiga. Di sesi paling akhir ini tentunya menjadi penentu kelulusan seorang siswa selama setahun belajar di kelas. Tentunya seorang guru di sini harus mampu melihat sejauh mana perkembangan belajar siswa-siswanya guna menentukan keputusan akhir yang diwujudkan dalam bentuk nilai di dalam rapor. Sistem pendidikan semacam ini adalah kurikulum 1994.

Model kurikulum ini orientasinya adalah bahwa pembelajaran terletak pada Pengalaman Belajar. Artinya bahwa dalam proses pembelajaran diharapkan siswa merasakannya sebagai sebuah pengalaman, yang membuatnya selalu mengingat pelajaran tersebut.

Pendekatan pembelajaran dalam pelaksanaan KBM diharapkan guru menerapkan prinsip belajar aktif. Yaitu pembelajaran yang melibatkan siswa secara fisik, mental (pemikiran dan perasaan), dan sosial.

Kurikulum di atas merupakan kurikulum ketiga setelah kurikulum 1976 dan 1984 yang secara resmi ditetapkan oleh pemerintah lewat UU No.4 Tahun 1950 tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah. Juga UU No.12 Tahun 1954 tentang Pernyataan Berlakunya UU No.4 Tahun 1950 dari Republik Indonesia Dahulu tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah untuk Seluruh Indonesia. Lalu, UU No.22 Tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi, UU No.14 PRPS Tahun 1965 tentang Majelis Pendidikan Nasional dan UU No.19 PNPS Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila.

Seiring berjalannya waktu dan jaman yang semakin berkembang, sistem pendidikan pun disesuaikan dengan kondisi yang ada. Berbagai macam perubahan kurikulum yang dilakukan harapannya adalah untuk menunjang kemajuan pendidikan di Tanah Air.

Hingga kemudian dilakukan penghapusan sistem catur wulan dan diganti sistem semester (per 6 bulan) dengan kurikulum yang berbasis kompetensi yang mulai diterapkan pada tahun 2004 atau yang kita kenal dengan sebutan kurikulum 2004 (KBK).

Pada kurikulum 2004 ini dalam hal pembelajaran, diarahkan untuk mendorong individu belajar sepanjang hayat dan mewujudkan masyarakat belajar.

Kegiatan belajar mengajar, dilandasi oleh prinsip:


1. berpusat pada peserta didik;
2. mengembangkan kreativitas peserta didik;
3. menciptakan kondisi menyenangkan dan menantang;
4. mengembangkan beragam kemampuan yang bermuatan nilai;
5. menyediakan pengalaman belajar yang beragam dan;
6. belajar melalui berbuat.

Kurikulum 2004 ini berjalan selama kurun waktu dua tahun. Jika mengikuti perkembangan pendidikan di Indonesia sebenarnya KBK ini baru merupakan draft yang belum ditandatangani oleh menteri.

Tentunya akan muncul pertanyaan, kenapa baru draft kok sudah dilaksanakan? Bukankah nantinya akan membuat sebuah kebingungan baru ketika sistem yang belum sepenuhnya siap akan tetapi sudah dijalankan? Semua berpulang pada keinginan pemerintah menjawab tantangan revolusi pendidikan yang terjadi, memasuki orde reformasi.

Dan pada kenyataannya di lapangan, sebenarnya kurikulum KBK merupakan uji coba sebuah kurikulum untuk mendapatkan sebuah format kurikulum yang dirasa cocok. setelah sebelumnya diujicobakan kurikulum ini di beberapa sekolah yang ditunjuk.

Setelah 2 tahun kurikulum ini dijalankan kemudian muncul format baru sistem pendidikan di Indonesia yakni kurikulum 2006 atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Makna dari kurikulum ini sendiri adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan (sekolah).

Di KTSP ini komponennya terdiri atas:

1. visi, misi, dan tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan;
2. struktur dan muatan KTSP;
3. kalender pendidikan;
4. silabus, dan;
5. RPP.

Pada KTSP, visi dan misi sudah ada dan dimiliki oleh setiap satuan pendidikan. Sedang tujuan pendidikan dasar adalah meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.

Pengembangan kurikulum ini didasarkan pada PP No.19 Tahun 2005 tentang SNP (Standar Nasional Pendidikan) pasal 17, yang menyebutkan bahwa:

1) kurikulum tingkat satuan pendidikan dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi/karakteristik daerah, sosial budaya masyarakat, dan karakteristik peserta didik,
2) sekolah dan komite sekolah/madrasah mengembangkan kurikulum satuan pendidikan dan silabusnya berdasarkan kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi lulusan serta berpedoman pada panduan yg disusun oleh BSNP.

Dari berbagai macam kurikulum yang telah coba diterapkan di Indonesia ini tentunya bisa kita rasakan sendiri apakah sudah menemui titik klimaks solusi pendidikan di Indonesia atau belum? Bagaimanapun juga perubahan sistem pendidikan yang terjadi harapannya adalah agar masyarakat Indonesia mampu menyesuaikan diri dengan kondisi jaman.


Kemudian muncul “pameo” di masyarakat, “ganti menteri, ganti kurikulum”.Masyarakat pun tentunya sudah tidak kaget lagi dengan berbagai macam aturan baru yang diterapkan oleh pemerintah tersebut. Akan tetapi baik secara langsung ataupun tidak langsung efek yang muncul dari gonta-gantinya sistem ini jelas sangat terasa di masyarakat. Bisa dibilang ketika setiap tahun sekarang ini siswa harus membeli buku materi baru karena referensi yang sebelumnya sudah tidak terpakai lagi. Berbagai fasilitas penunjangnya pun juga harus disiapkan oleh orang tua didik ketika sistem baru dilahirkan. Secara finansial jelas sangat berdampak.

Kemudian di akhir tahun 2012 kemarin muncul wacana bahwa pada tahun 2013 akan diujicobakan kembali kurikulum baru, yakni kurikulum 2013 yang meskipun belum pasti namun sudah membuatgeger masyarakat.

Ketika muncul pemberitaan bahwa di kurikulum yang rencananya akan diujicobakan pada tahun ajaran 2013/2014 ini mata pelajaran Bahasa Daerah akan dihapuskan. Isu ini jelas membuat para guru, calon guru, dan masyarakat resah ketika kita tahu bahwa sekarang ini anak-anak sudah kurang—bahkan banyak yang sudah tidak—mengenal lagi bahasa daerahnya masing-masing. Misalnya saja di Jawa Tengah dan Jogjakarta ketika anak-anak berbicara dengan teman sebayanya, gurunya, dan orang tuanya mereka sudah tidak menggunakan bahasa Jawa lagi—apalagi bahasaKrama—tetapi menggunakan bahasa Indonesia yang dirasa lebih mudah. Hal ini jelas akan membuat moral bangsa menjadi semakin mungalami kemunduran ketika sudah tidak dikenal lagi kearifan lokal dan keragaman bahasa Nusantara dan unggah-ungguh basa (sopan santun berbahasa) pun tentunya semakin menghilang.

Kekhawatiran masyarakat ini kemudian mendapat tanggapan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, M. Nuh yang dalam statementnya menyebutkan bahwa Bahasa Daerah tidak dihilangkan akan tetapi diintegrasikan dengan beberapa mata pelajaran lain yang juga baru akan dimunculkan yakni mata pelajaran Seni Budaya dan Prakarya dalam satu mata pelajaran “Muatan Lokal (Mulok).”

Porsi mata pelajaran Muatan Lokal ini adalah 4 jam tiap minggunya. Akan tetapi meskipun porsinya ditambah tentunya muncul juga kekhawatiran ketika Seni Budaya dan Prakarya yang lebih mempunyai nilai ekonomis akan membuat Bahasa Daerah semakin tersisihkan perannya dalam pendidikan di Indonesia.

Bagaimanapun juga jika ingin mengarahkan pendidikan berkarakter dirasa sangat penting untuk tetap mengadakan mata pelajaran Bahasa Daerah secara khusus karena ini salah satu yang utama setelah Pendidikan Agama untuk mendukung pendidikan berkarakter tersebut. Bukankah dengan Pendidikan Agama dan Bahasa Daerah tersebut kita diajarkan bertutur kata dan bertingkah laku secara sopan dan santun? Tentunya ini perlu dikaji lebih mendalam lagi dan harus disesuaikan dengan lokalitas yang ada di masing-masing daerah di seantero Nusantara.

Tulisan ini saya buat setelah Jumat malam (28/12) mendiskusikan tentang sistem pendidikan di Indonesia bersama sahabat Dalhar, Farid, dan Zaenul di sekretariat PMII Komisariat Kentingan.

0 komentar:

Posting Komentar